Puasa merupakan salah satu rukun Islam
yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah
mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan
atas kaum sebelum Muhammad saw. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang
telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.
Ada empat bentuk puasa yang telah
dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu: Puasa merupakan salah satu rukun
Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt.
telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah
diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad saw. Puasa merupakan amal ibadah
klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.
Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu:
Puasanya orang-orang sufi, yakni praktek puasa setiap hari dengan maksud menambah pahala. Misalnya puasanya para pendeta.
Puasa bicara, yakni praktek puasa kaum Yahudi. Sebagaimana yang telah dikisahkan Allah dalam Al-Qur’an, surat Maryam ayat 26:
“Jika kamu (Maryam) melihat
seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku telah bernadzar
berpuasa untuk tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara
dengan seorang manusia pun pada hari ini” (Q.S. Maryam :26).
Puasa dari seluruh atau sebagian
perbuatan (bertapa), seperti puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama
Budha dan sebagian Yahudi. Dan puasa-puasa kaum-kaum lainnya yang
mempunyai cara dan kriteria yang telah ditentukan oleh masing-masing
kaum tersebut.
Sedang kewajiban puasa dalam Islam, orang
akan tahu bahwa ia mempunyai aturan yang tengah-tengah yang berbeda
dari puasa kaum sebelumnya baik dalam tata cara dan waktu pelaksanaan.
Tidak terlalu ketat sehingga memberatkan kaum muslimin, juga tidak
terlalu longgar sehingga mengabaikan aspek kejiwaan. Hal mana telah
menunjukkan keluwesan Islam.
HIKMAH PUASA
Diwajibkannya puasa atas ummat Islam
mempunyai hikmah yang dalam. Yakni merealisasikan ketakwaan kepada Allan
swt. Sebagaimana yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 183:
“Hai orang-orang yang beriman
telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kalian bertakwa.”
Kadar takwa tersebut terefleksi dalam tingkah laku, yakni melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Al-Baqarah ayat 185 :
“(Beberapa hari yang ditentukan
itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulan)
al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia danp enjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan bathil). Karena
itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan tersebut, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.
Ayat ini menjelaskan alasan yang melatar
belakangi mengapa puasa diwajibkan di bulan Ramadhan, tidak di bulan
yang lain. Allah mengisyaratkan hikmah puasa bulan Ramadhan, yaitu
karena Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan yang diistimewakan
Allah dengan dengan menurunkan kenikmatan terbesar di dalamnya, yaitu
al-Qur’an al-Karim yang akan menunjukan manusia ke jalan yang lurus.
Ramadhan juga merupakan pengobat hati, rahmah bagi orang-orang yang
beriman, dan sebagai pembersih hati serta penenang jiwa-raga. Inilah
nikmat terbesar dan teragung. Maka wajib bagi orang-orang yang mendapat
petunjuk untuk bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat tiap pagi dan sore.
Bila puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu, maka adakah puasa yang diwajibkan atas umat Islam sebelum Ramadhan?
Jumhur ulama dan sebagian pengikut Imam
Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada puasa yang pernah diwajibkan atas
umat Islam sebelum bulan Ramadhan. Pendapat ini dilandaskan pada hadis
Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah :
“Hari ini adalah hari Asyura’,
dan Allah tidak mewajibkannya atas kalian. Siapa yang mau silahkan
berpuasa, yang tidak juga boleh meninggalkannya.”
Sedangkan madzhab Hanafi mempunyai
pendapat lain: bahwa puasa yan diwajibkan pertama kali atas umat Islam
adalah puasa Asyura’. Setelah datang Ramadhan Asyura’ dirombak
(mansukh). Madzhab ini mengambil dalil hadisnya Ibn Umar dan Aisyah ra.:
diriwayatkan dari Ibn ‘Amr ra.
bahwa Nabi saw. telah berpuasa hari Asyura’ dan memerintahkannya (kepada
umatnya) untuk berpuasa pada hari itu. Dan ketika datang Ramadhan maka
lantas puasa Asyura’ beliau tinggalkan, Abdullah (Ibnu ‘Amr) juga tidak
berpuasa”. (H.R. Bukhari).
“Diriwayatkan dari Aisyah ra.,
bahwa orang-orang Quraisy biasa melakukan puasa Asyura’ pada masa
jahiliyah. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa hari Asyura’
sampai diwajibkannya puasa Ramadhan. Dan Rasul berkata, barangsiapa
ingin berpuasa Asyura’ silahkan berpuasa, jika tidak juga tak apa-apa”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pada masa-masa sebelumnya, Rasulullah
biasa melakukan puasa Asyura’ sejak sebelum hijrah dan terus berlanjut
sampai usai hijrah. Ketika hijrah ke Madinah beliau mendapati
orang-orang Yahudi sedang berpuasa (Asyura’), beliau pun ikut berpuasa
seperti mereka dan menyerukan ke ummatnya untuk melakukan puasa itu.
Hal ini sesuai dengan wahyu secara
mutawattir (berkesinambungan) dan ijtihad yang tidak hanya berdasar
hadis Ahaad (hadis yang diriwayatkan oleh tidak lebih dari satu orang).
“Ibn Abbas ra. meriwayatkan:
ketika Nabi saw. sampai diMadinah, beliau melihat orang-orang Yahudi
sedang melakukan puasa Asyura’, lalu beliau bertanya: (puasa) apa ini?
Mereka menjawab: ini adalah hari Nabi Salehas., hari di mana Allah swt.
memenangkan Bani Israel atas musuh-musuhnya, maka lantas Musa as.
melakukan puasa pada hari itu. Lalu Nabi saw. berkata: aku lebih berhak
atas Musa dari kalian. Lantas beliau melaksanakan puasa tersebu dan
memerintahkan (kepada sahabat-sahabatnya) berpuasa. (HR. Bukhari).
Puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan
Sya’ban tahun kedua hijriyah, maka lantas, sebagaimana madzhab Abi
Hanifah, kewajiban puasa Asyura terombak (mansukh). Sedang menurut
madzhab lainnya, kewajiban puasa Ramadhan itu hanya merombak kesunatan
puasa Asyura’.
Kewajiban puasa Ramadhan berlandaskan Al-qur’an, Sunnah, dan Ijma.
“Diriwayatkan dari Abdullah Ibn
Umar, bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: Islam berdiri
atas lima pilar: kesaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah
(Makkah) dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
Kata ‘al-haj‘ (haji) didahulukan sebelum kata ‘al-shaum‘
(puasa), itu menunjukkan pelaksanakaan haji lebih banyak menuntut
pengorbanan waktu dan harta. Sedang dalam riwayat lain, kata ‘al-shaum’ didahulukan, karena kewajiban puasa lebih merata (bisa dilaksanakan oleh mayoritas umat Islam) dari pada haji.
Kewajiban puasa Ramadhan sangat terang.
Barang siapa yang mengingkari atau mengabaikan keberadaannya dia
termasuk orang kafir, kecuali mereka yang hidup pada zaman Islam masih
baru atau orang yang hidup jauh dari ulama.
DEFINISI PUASA
Secara etimologi, puasa berarti menahan,
baik menahan makan, minum, bicara dan perbuatan. Seperti yang
ditunjukkan firman Allah, surat Maryam ayat 26 :
“Sesungguhnya aku telah bernadzar
berpuasa demi Tuhan yang Maha Pemurah, bahwasanya aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini”.(Q.S. Maryam : 26)
Sedangkan secara terminologi, puasa adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa. Sebagian ulama mendefinisikan, puasa adalah
menahan nafsu dua anggota badan, perut dan alat kelamin sehari penuh,
sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenamnya matahari dengan memakai
niat tertentu. Puasa Ramadhan wajib dilakukan, adakalanya karena telah
melihat hitungan Sya’ban telah sempurna 30 hari penuh atau dengan
melihat bulan pada malam tanggal 30 Sya’ban. Sesuai dengan hadits Nabi
saw.
“Berpuasalah dengan karena kamu
telah melihat bulan (ru’yat), dan berbukalah dengan berdasar ru’yat
pula. Jika bulan tertutup mendung, maka genapkanlah Sya’ban menjadi 30
hari.